Monday, October 5, 2015

KEUTAMAAN MEMBAHAGIAKAN ORANG LAIN

Posted by Abd. Ghafar Arif RM 
Suatu ketika, sahabat Abu Musa RA matur kepada Baginda Nabi Muhammad SAW “Ya Rasulullah, orang muslim seperti apa yang paling utama?” Nabi menjawab:
"قال "مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ"  
"Muslim yang paling utama adalah seorang muslim dimana orang-orang muslim (lainnya) selamat dari keburukan mulut dan tangannya”.
Maksudnya, setiap muslim yang paling utama adalah seorang muslim yang tidak merugikan orang lain, baik melalui lisan atau tidakannya.
Dengan adanya hadis ini, mari kita bermawas diri, introspeksi diri, bagaimana kita bertetangga, bermasyarakat, sudah benar apa belum, sudah menciptakan manfaat apa justru hanya membuat masalah yang merugikan orang lain.
Mari kita perbaiki hidup kita dengan cara membenahi cara kita berkumpul, sukur-syukur bisa memberi manfaat kepada orang lain.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ اَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
Sebaik-baik orang adalah yang dapat memberi manfaat kepada sesama.
Lebih baik lagi jika kita mampu menciptakan kebahagiaan orang lain, menjadi orang yang melegakan semua pihak.
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا  قَالَ : إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ إِنَّ اَحَبَّ الْاَعْمَالِ اِلَى اللهِ بَعْدَ الْفَرَائِضِ إِدْخَالُ السُّرُوْرِ عَلَى الْمُسْلِمِ.
Hadis riwayat Ibnu Abbas RA, bahwa Baginda Nabi Muhammad SAW bersabda: “sesungguhnya amal yang paling disukai Allah SWT setelah melaksanakan berbagai hal yang wajib adalah menggembirakan muslim yang lain.

Adapun cara membuat gembira bisa dengan tindakan yang bermacam-macam. Yang terpenting adalah selama tidak melanggar aturan syara’. Bisa dengan perkataan yang menyenangkan, bisa dengan sikap rendah hati, tidak merasa yang paling mulia sendiri, menghormati hak-hak orang lain dan sebagainya.
رُوِيَ، مَنْ اَدْخَلَ عَلَى مُؤْمِنٍ سُرُوْرًا، خَلَقَ اللهُ مِنْ ذَلِكَ السُرُوْرِ سَبْعِيْنَ اَلْفَ مَلَكٍ، يَسْتَغْفِرُوْنَ لَهُ اِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
Dalam kitab Al ‘Athiyyatul Haniyyah dijelaskan “Barang siapa yang membahagiakan orang mukmin lain, Allah Ta’ala menciptakan 70.000 malaikat yang ditugaskan memintakan ampunan baginya sampai hari kiamat sebab ia telah membahagiakan orang lain.
Bahkan dalam kitab Qomi’uth Thughyan diceritakan, Ada orang yang berlumur dosa, namun kemudian Allah melebur dosa-dosanya. Baginda Nabi bertanya kepada malaikat Jibril “sebab apa gerangan Allah mengampuni dosa-dosa orang itu?” malaikat Jibril menjawab:
"لَهُ صَبِيٌّ صَغِيْرٌ، فَاِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ يَسْتَقْبِلُهُ، فَيَدْفَعُ اِلَيْهِ شَيْئًا مِنَ الْمَأْكُوْلاَتِ اَوْ مَا يَفْرَحُ بِهِ، فَاِذَا فَرِحَ الصَّبِيُّ يَكُوْنُ كَفَّارَةً لِذُنُوْبِهِ.
Karena ia memiliki anak kecil, ketika pulang dari bepergian, saat ia masuk ke rumahnya, ia disambut putranya yang masih kecil, ia memberikan buah tangan yang membuat sang buah hati bahagia.
Kebahagiaan anak inilah yang mengakibatkan ia memperoleh “Kaffarotudz dzunub” dosa yang diampuni.
Walhasil, kesimpulannya :
  1. Jangan sampai merugikan orang lain
  2. Sebisa mungkin kita berusaha menjadi orang yang dapat memberi manfaat kepada orang lain, membahagiakan orang lain, melegakan hati orang lain, menghormati hak-hak sesama.
Jika hidup kita demikian, artinya, menghormati hak-hak orang lain, berusaha membahagiakan sesama, insya Allah kita akan selamat, tentram dan dijauhkan dari hal-hal yang tak disukai.
Semoga Allah SWT memberikan ridlo kepada kita semua, hidup kita selalu dibina, dibimbing menuju ridlo-Nya, amin ya Robbal alamin.

Friday, May 22, 2015

MEMBURU KEMULIAAN

Posted by Abd. Ghofar Arif RM


Seorang kawan merasa prihatin  terhadap temannya yang ternyata sudah menjadi tersangka KPK. Temannya yang dimaksudkan itu sejak kecil berjuang agar menjadi orang terpandang atau mulia. Kemuliaan yang dimasudkan itu sebenarnya sederhana, yaitu bisa sekolah, kuliah di perguruan tinggi, dan setelah lulus menjadi pejabat. Semua angan-angannya itu tercapai, hingga yang bersangkutan berhasil menduduki posisi di eselon satu sebuah birokrasi  di Jakarta.
Melihat gambaran yang ingin diraih  itu, bahwa yang dimaksudkan kemuliaan itu sebenarnya adalah sederhana, ialah kemuliaan di mata manusia. Yang diinginkan itu bukan kemuliaan yang hakiki atau yang sebenarnya, yaitu menurut ukuran Tuhan. Kemuliaan yang sebenarnya adalah kemuliaan baik di dunia maupun diu akherat kelak.  Orang mulia sebagaimana dimasudkan terakhir itu adalah orang yang kukuh imannya, luas dan mendalam ilmunya, dan selalu  beramal shaleh. Sayangnya pengertian kemuliaan bagi  orang yang diceritakan oleh kawan dimasud agaknya sudah keliru.
Semua orang memang menghendaki hidup mulia. Akan tetapi kemuliaan yang dimaksudkan  itu ternyata tidak selalu tepat. Kadangkala, seseorang mengira bahwa kemuliaan itu ada di banyaknya harta.  Atas dasar anggapan itu, maka seseorang berusaha dengan cara apapun agar berhasil memiliki dan menguasai harta kekayaan sebanyak-banyaknya. Ternyata  tatkala harta itu sudah berhasil dikumpulkan, yang bersangkutan belum tentu merasakan kemuliaan yang diinginkan itu. Bahkan sebaliknya, tenaga dan pikirannya sehari-hari hanya digunakan untuk mengurus hartanya. Akhirnya, mereka menjadi budak harta yang dimilikinya itu.
Sementara yang lain, mengira bahwa kemuliaan itu ada di pangkat atau jabatan. Maka apapun pangkat dan jabatan  dikejar hingga berhasil didapatkan. Mereka mengira bahwa dengan jabatan itu,  maka harta, kewibawaan, pengakuan,  dan bahkan juga harta bisa berhasil dikumpulkan. Akan tetapi lagi-lagi, keberhasilan mendapatkan jabatan yang dicari dengan susah payah itu, ternyata tidak  selalu mendatangkan kemuliaan. Keberhasilan memperoleh pangkat dan jabatan, ternyata  tidak menjamin kemuliaan yang sebenarnya bisa dinikmati.
Padahal untuk memperoleh jabatan yang diinginkan, mereka harus menempuh pendidikan yang dianggap berkualitas. Lembaga pendidikan yang dimasuki selalu dipilih -------menurut ukurannya, yaitu yang terbaik. Berapapun besar biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan pendidikan yang dianggap bermutu itu tidak pernah diperhitungkan. Sebesar apapun biaya itu dibayar demi masa depan. Setelah lulus segera cita-citanya itu tercapai, ia berhasil mendapatkan pekerjaan dan menduduki posisi penting dan atau strategis. Akan  tetapi, dengan tidak diduga sebelumnya, ia terkena kasus, ialah menjadi tersangka KPK.
Jika demikian itu yang terjadi, maka pangkat dan jabatan tidak lagi mengantarkannya menjadi mulia, melainkan sebaliknya, ialah justru kesengsaraan dan kehinaan yang diperoleh. Biaya sekolah yang sedemikian mahal, waktu yang digunakan sedemikian lama, dan segala pengorbanan  telah dikeluarkan, namun  akhirnya hanya  menjadi sia-sia. Kawan saya dalam cerita di muka, merasa ikut prihatin. Tatkala masih menjabat, temannya itu sangat dibanggakan dan hidupnya dianggap  sukses. Di antara jajaran teman-temannya yang tergolong berhasil, orang yang telah menjadi tersangka itu sebelumnya juga disebut sukses.
Di ujung cerita itu  bisa dibayangkan, bahwa bila seseorang yang sudah dinyatakan sebagai tersangka,  maka masyarakat mengangap bahwa yang bersangkutan sudah melakukan  hal yang tidak benar, yaitu menggelapkan keuangan negara. Atas statusnya seperti itu, teman-temannya sudah mulai menghindar. Siapapun tidak akan mau disebut sebagai teman orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Mereka tidak  akan bangga dan bahkan malu. Tidak sebatas  temannya, lebih dari itu, adalah anak dan isterinya, keluarganya, dan bekas para anak buahnya terdahulu akan menanggung beban psikologis yang luar biasa besarnya.
Selanjutnya, akan lebih menderita lagi, manakala yang bersangkutan menjadi nara pidana atau dipenjara. Sepulang menjalani hukuman, ia akan kehilangan segala-galanya. Kepercayaan, harga diri, martabat, jasa baik,  dan apapun yang dimiliki termasuk sejarah kehebatan pendidikan yang  telah ditempuh itu akan hilang dengan sendirinya. Tidak bisa dibayangkan, betapa  besarnya penderitaan yang harus ditanggung oleh orang yang semula menjadi pejabat, namun kemudian  dipenjara. Oleh karena  itu, kemuliaan yang paling hakiki adalah kemuliaan menurut  ukuran Tuhan, yaitu apa yang  disebut dengan taqwa. Puasa di Bulan Ramadhan adalah mengantarkan orang yang beriman untuk mendapatkan kemuliaan yang hakiki itu. Kemuliaan yang hakiki  inilah  yang seharusnya diburu dan diperjuangkan. Wallahu a’lam.

Sunday, March 29, 2015

DUSTA DAN AKIBATNYA



Posted by Abd. Ghafar Arif RM


Berbohong atau berdusta adalah menyampaikan sesuatu tidak sesuai dengan kenyataannya. Ia termasuk perbuatan sangat tercela secara syar’i, akal sehat, dan fitrah yang lurus. Ia menghantarkan kepada perbuatan dosa dan kejahatan. Termasuk jalan paling pintas menuju ke neraka.

Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
 
إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ كَذَّابًا
Sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada perbuatan baik, dan perbuatan baik menunjukkan kepada surga, dan sesungguhnya seseorang yang membiasakan jujur ia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya dusta menunjukkan kepada perbuatan dosa, dan perbuatan dosa menunjukkan kepada neraka, dan sesungguhnya seseorang yang biasa berdusta ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (Muttafaq ‘Alaih)
Islam sangat mencela perbuatan dusta atau berbohong. Umat Islam diperingatkan secara umum agar tidak berdusta. Bahkan Islam mengategorikannya sebagai bagian dari tanda kekufuran dan kemunafikan.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:


وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 39)
إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِآَيَاتِ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ
Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta.” (QS. Al-Nahl: 105)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

Tanda orang munafik ada tiga: apabila ia berkata dusta, apabila berjanji mengingkari, dan apabila diberi amanat berkhianat.” (Muttafaq ‘Alaih)
Dalam hadits yang sangat masyhur, “Ada empat hal, yang jika berada pada diri seseorang maka ia menjadi seorang munafiq sesungguhnya, dan jika seseorang memiliki kebiasaan salah satu dari padanya, maka berarti ia memiliki satu kebiasaan (ciri) nifaq sampai ia meninggalkannya; bila dipercaya ia berkhianat, bila berbicara ia berdusta, bila berjanji ia memungkiri dan bila bertikai ia berbuat curang.” (Muttafaqun 'alaih)
Maka semaksimal mungkin kita menghindarkan diri dari berbohong. Jangan mudah berkata dusta walau dalam perkara-perkara kecil. Karena demikian itu akan mengurangi kepercayaan orang kepada kita saat kita menyampaikan kebenaran.
Ada beberapa perkara yang dikerjakan tanpa mereka berdosa, padahal ia benar-benar bagian dari perbuatan bohong. Di antara contohnya:
Pertama, memanggil anak kecil untuk dikasih sesuatu padahal ia tak punya yang dijanjikan tersebut. Termasuk di dalamnya mengingkari janji kepada anak kecil atau menjawab pertanyaan anak kecil dengan jawaban dusta.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amir Radhiyallahu 'Anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah datang ke rumah kami yang saat itu aku masih kecil. Lalu aku ingin keluar untuk bermain. Lalu ibuku memanggilku: Hai kemarilah, aku kasih kamu.
Kemudian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bertanya kepadanya: Apakah sebenarnya kamu tidak ingin memberinya? Ibuku menjawab: Aku akan kasih dia kurma. Lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda kepadanya: Adapun jika kamu tidak memberinya apa-apa maka dicatat atasmu perbuatan dusta.” (HR. Abu Dawud)
Kedua, menyampaikan setiap apa yang didengar tanpa di cross-check. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: “Cukuplah seseorang dianggap berdusta kalau dia menyampaikan setiap yang ia dengar.” (HR. Muslim)
Ketiga, berkata bohong untuk membuat orang tertawa (melawak). Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ

Celakalah orang yang berbicara, padahal ia berbohong untuk sekedar membuat orang-orang tertawa, celakalah dia, kemudian celakalah dia.” (HR. Abu Dawud dan Al-Tirmizi. Dihassankan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 7136)
Keempat, ngegombal, yakni mengobrol sambil becanda dengan cerita-cerita dusta.  Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
 

لَا يُؤْمِنُ الْعَبْدُ الْإِيمَانَ كُلَّهُ حَتَّى يَتْرُكَ الْكَذِبَ فِي الْمُزَاحِ وَالْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ صَادِقً

Seorang hamba tidak beriman dengan sempurna sehingga ia meninggakan berkata bohong saat becanda dan meninggalkan debat walau ia benar.” (HR. Ahmad)
Al-Imam Ahmad berkata, “Bohong tidak boleh baik serius atau main-main.”
Siksa yang disediakan bagi pendusta sangat berat, sebelah wajahnya dirobek dengan besi sampai tengkuknya; dimulai dari mulut sampai tengkuk, lalu sebelah mata sampai tengkuk, dan dari mata sampai tengkuk. Setelah selesai, berganti sebelah wajah yang lain. Belum selesai sebelah wajah kedua dirobek, sebelah wajah yang pertama kembali seperti semula dan siap disiksa kembali.
Jika demikian berat dan ngeri siksa neraka maka selayaknya kita menjauhi bentuk-bentuk dusta dan berkata bohong, baik yang beresiko besar atau yang beresiko kecil. Baik saat serius maupun saat becanda.
Berdusta atau berbohong salah satu sifat yang sangat buruk dan dicela dalam pandangan syariat, akal dan fitrah yang lurus. Allah telah mengharamkannya dalam semua risalah samawiyah. Allah juga mencela perbuatan dusta dan para pelakunya dalam banyak ayat. Mereka diancam dengan siksa yang sangat berat.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:


قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ


Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui".” (QS. Al-A’raf: 33)
Ibnul Qayyim menilai bahwa perkata-perkara haram dalam ayat di atas yang paling buruk dan paling besar dosanya adalah berkata yang mengada-ada tentang Allah tanpa ilmu. Sebab, syirik dan kekufuran tidak muncul kecuali dari kedustaan.

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُوَ يُدْعَى إِلَى الْإِسْلَامِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
 
Dan siapakah yang lebih lalim daripada orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah sedang dia diajak kepada agama Islam? Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Shaaf: 7)


وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (QS. Al-Nahl: 116)
Allah telah mengiringkan antara perbuatan dusta dan kesyirikan yang menunjukkan ada hubungan antara keduanya, “Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 30-31)
Sebenarnya, berbohong merupakan identitas orang kafir. Allah telah firmankan tentang kafirin, “Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 39)
Dusta juga menjadi tabiat yg melekat pada diri orang-orang munafik dan menjadi salah satu ciri mereka yang paling menonjol. Ini sesuai dengan firman Allah, “Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (QS. Al-Munafikun: 1)
Dalam hadits yang sangat masyhur, “Ada empat hal, yang jika berada pada diri seseorang maka ia menjadi seorang munafiq sesungguhnya, dan jika seseorang memiliki kebiasaan salah satu dari padanya, maka berarti ia memiliki satu kebiasaan (ciri) nifaq sampai ia meninggalkannya; bila dipercaya ia berkhianat, bila berbicara ia berdusta, bila berjanji ia memungkiri dan bila bertikai ia berbuat curang.” (Muttafaqun 'alaih)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menjelaskan bahwa berlaku jujur adalah jalan menuju surga, sebaliknya berdusta merupakan  jalan yang menghantarkan kepada neraka. Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,


إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ كَذَّابًا
 
Sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada perbuatan baik, dan perbuatan baik menunjukkan kepada surga, dan sesungguhnya seseorang yang membiasakan jujur ia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya dusta menunjukkan kepada perbuatan dosa, dan perbuatan dosa menunjukkan kepada neraka, dan sesungguhnya seseorang yang biasa berdusta ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (Muttafaq ‘Alaih)
Oleh karenanya, wajar sekali jika perbuatan dusta diancam dengan siksa yang sangat mengerikan. Dalam hadits Samurah bin Jundab yang sangat panjang, dijelaskan akibat yang akan ditanggung oleh pendusta yang kebohongannya sudah sampai ke ufuk. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menceritakan apa yang beliau temui dalam mimpinya,

فَانْطَلَقْنَا فَأَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مُسْتَلْقٍ لِقَفَاهُ، وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ بِكَلُّوِبٍ مِنْ حَدِيْدٍ، وَإِذَا هُوَ يَأْتِي أَحَدَ شِقَّيْ وَجْهِهِ فَيُشَرْشِرُ شِدْقَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَمِنْخَرَهُ إِلَى قَفَاهُ، وَعَيْنَهُ إِلَى قَفَاهُ. (قَالَ : وَرُبَّمَا قَالَ أبو رَجَاء: فَيَشُقُّ). قَالَ: ثُمَّ يَتَحَوَّلُ إِلَى الْجَانِبِ الآخَرِ فَيَفْعَلُ بِهِ مِثْلَ مَا فَعَلَ بالجَانِبِ الأَوَّلِ، فَمَا يَفْرُغُ مِنْ ذَلِكَ الْجَانِبِ حَتَّى يَصِحَّ ذَلِكَ الْجَانِبُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ يَعُوْدُ عَلَيْهِ فَيَفْعَلَ مِثْلَ مَا فَعَلَ الْمَرَّةَ الأُوْلَى. قَالَ: قُلْتُ لَهُمَا : سُبْحَانَ الله، مَا هَذَانِ؟ قَالَ: قَالاَ لِي : اِنْطَلِقْ اِنْطَلِقْ.
  .
“Kemudian kami berangkat lagi mendatangi orang yang terlentang pada tengkuknya. Ternyata ada orang lain yang berdiri di atasnya sambil membawa kait (yang terbuat) dari besi. Tiba-tiba ia datangi sebelah wajah orang yang terlentang itu, lalu ia robek (dengan kait besi tersebut) mulai dari sebelah mulutnya hingga tengkuknya, mulai dari lubang hidungnya hingga tengkuknya, dan mulai dari matanya hingga tengkuknya. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam kemudian bersabda: “Selanjutnya orang itu berpindah ke sebelah wajah lainnya dari orang yang terlentang tersebut dan melakukan seperti yang dilakukannya pada sisi wajah yang satunya. Belum selesai ia berbuat terhadap sisi wajah yang lain itu, sisi wajah pertama sudah sehat kembali seperti sedia kala. Maka ia mengulangi perbuatannya, ia lakukan seperti yang dilakukannya pada kali pertama.”
Di penghujung hadits dijelaskan dosa yang diperbuat oleh laki-laki tadi, “Sesungguhnya laki-laki itu setiap keluar dari rumahnya ia berdusta (berbohong) yang kebohongannya sampai ke kaki-kaki langit (tersebar ke mana-mana,-terj)” (HR. Al-Bukhari) dalam riwayat lain, “Ia disiksa demikian hingga tiba hari kiamat.”
Siksa dahsyat yang ditimpakan kepada pendusta di atas terjadi di alam kuburnya sebagai siksa kubur. Ini terus disiksakan atasnya sampai terjadinya hari kiamat. Semoga Allah menyelamatkan kita darinya.
Bahaya dusta semakin menjadi-jadi karena dia dilakukan oleh lisan. Di mana seseorang lengah dari mengontrolanya. Maka benar sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,  bahwa yang paling banyak menjerumuskan seseorang ke dalam neraka adalah hasil kerja lisannya. (HR. al-Tirmidzi)
Dalam hadits lain, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam memberikan jaminan surga kepada umatnya yang benar-benar sanggup menjaga lisannya, “Barangsiapa menjamin untukku apa yang ada di antara kedua dagunya dan apa yang ada di antara kedua kakinya, maka aku akan menjamin surga untuknya.” (Muttafaq 'alaih dari hadits Sahal bin Sa'ad)
Berdusta semakin asyik dikerjakan karena terkadang berdusta menjadi sebuah hiburan yang membuat orang-orang tertawa dan lupa terhadap masalahnya. Sehingga berdusta yang seperti ini tidak terlihat sebagai sesuatu yang tercela.
Pendorong berbohong lainnya, berbohong terkadang bisa menambah jumlah nominal pernghasilan. Baik dengan mengurangi timbangan dan takaran, bersumpal palsu saat menjual, atau menipu, dan sebagainya. Tapi, satu kepastian bahwa harta yang diperolehnya tidak akan barakah. Sehingga dengan hasil dari berdusta tersebut, ia mengenyangkan perutnya, menghilangkan dahaganya, dan menutupi tubuhnya dengan pakaiannya. Sehingga ibadah yang dikerjakannya tidak bisa mentazkiyah jiwanya. Karenanya, kecenderungan kepada maksiat dan perbuatan dosa lebih kuat dalam dirinya. Wallahu Ta’ala A’lam.


Artikel Terbaru