Seorang kawan merasa prihatin
terhadap temannya yang ternyata sudah menjadi tersangka KPK. Temannya yang
dimaksudkan itu sejak kecil berjuang agar menjadi orang terpandang atau mulia.
Kemuliaan yang dimasudkan itu sebenarnya sederhana, yaitu bisa sekolah, kuliah
di perguruan tinggi, dan setelah lulus menjadi pejabat. Semua angan-angannya
itu tercapai, hingga yang bersangkutan berhasil menduduki posisi di eselon satu
sebuah birokrasi di Jakarta.
Melihat gambaran yang ingin diraih
itu, bahwa yang dimaksudkan kemuliaan itu sebenarnya adalah sederhana,
ialah kemuliaan di mata manusia. Yang diinginkan itu bukan kemuliaan yang
hakiki atau yang sebenarnya, yaitu menurut ukuran Tuhan. Kemuliaan yang
sebenarnya adalah kemuliaan baik di dunia maupun diu akherat kelak. Orang
mulia sebagaimana dimasudkan terakhir itu adalah orang yang kukuh imannya, luas
dan mendalam ilmunya, dan selalu beramal shaleh. Sayangnya pengertian
kemuliaan bagi orang yang diceritakan oleh kawan dimasud agaknya sudah
keliru.
Semua orang memang menghendaki hidup mulia. Akan tetapi kemuliaan
yang dimaksudkan itu ternyata tidak selalu tepat. Kadangkala, seseorang
mengira bahwa kemuliaan itu ada di banyaknya harta. Atas dasar anggapan
itu, maka seseorang berusaha dengan cara apapun agar berhasil memiliki dan
menguasai harta kekayaan sebanyak-banyaknya. Ternyata tatkala harta itu
sudah berhasil dikumpulkan, yang bersangkutan belum tentu merasakan kemuliaan
yang diinginkan itu. Bahkan sebaliknya, tenaga dan pikirannya sehari-hari hanya
digunakan untuk mengurus hartanya. Akhirnya, mereka menjadi budak harta yang
dimilikinya itu.
Sementara yang lain, mengira bahwa
kemuliaan itu ada di pangkat atau jabatan. Maka apapun pangkat dan jabatan
dikejar hingga berhasil didapatkan. Mereka mengira bahwa dengan jabatan
itu, maka harta, kewibawaan, pengakuan, dan bahkan juga harta bisa
berhasil dikumpulkan. Akan tetapi lagi-lagi, keberhasilan mendapatkan jabatan
yang dicari dengan susah payah itu, ternyata tidak selalu mendatangkan
kemuliaan. Keberhasilan memperoleh pangkat dan jabatan, ternyata tidak
menjamin kemuliaan yang sebenarnya bisa dinikmati.
Padahal untuk memperoleh jabatan yang
diinginkan, mereka harus menempuh pendidikan yang dianggap berkualitas. Lembaga
pendidikan yang dimasuki selalu dipilih -------menurut ukurannya, yaitu yang
terbaik. Berapapun besar biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan
pendidikan yang dianggap bermutu itu tidak pernah diperhitungkan. Sebesar
apapun biaya itu dibayar demi masa depan. Setelah lulus segera cita-citanya itu
tercapai, ia berhasil mendapatkan pekerjaan dan menduduki posisi penting dan
atau strategis. Akan tetapi, dengan tidak diduga sebelumnya, ia terkena
kasus, ialah menjadi tersangka KPK.
Jika demikian itu yang terjadi, maka
pangkat dan jabatan tidak lagi mengantarkannya menjadi mulia, melainkan
sebaliknya, ialah justru kesengsaraan dan kehinaan yang diperoleh. Biaya
sekolah yang sedemikian mahal, waktu yang digunakan sedemikian lama, dan segala
pengorbanan telah dikeluarkan, namun akhirnya hanya menjadi
sia-sia. Kawan saya dalam cerita di muka, merasa ikut prihatin. Tatkala masih
menjabat, temannya itu sangat dibanggakan dan hidupnya dianggap sukses.
Di antara jajaran teman-temannya yang tergolong berhasil, orang yang telah
menjadi tersangka itu sebelumnya juga disebut sukses.
Di ujung cerita itu bisa
dibayangkan, bahwa bila seseorang yang sudah dinyatakan sebagai
tersangka, maka masyarakat mengangap bahwa yang bersangkutan sudah
melakukan hal yang tidak benar, yaitu menggelapkan keuangan negara. Atas
statusnya seperti itu, teman-temannya sudah mulai menghindar. Siapapun tidak
akan mau disebut sebagai teman orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka
oleh KPK. Mereka tidak akan bangga dan bahkan malu. Tidak sebatas
temannya, lebih dari itu, adalah anak dan isterinya, keluarganya, dan
bekas para anak buahnya terdahulu akan menanggung beban psikologis yang luar
biasa besarnya.
Selanjutnya, akan lebih menderita lagi, manakala yang bersangkutan
menjadi nara pidana atau dipenjara. Sepulang menjalani hukuman, ia akan
kehilangan segala-galanya. Kepercayaan, harga diri, martabat, jasa baik,
dan apapun yang dimiliki termasuk sejarah kehebatan pendidikan yang telah
ditempuh itu akan hilang dengan sendirinya. Tidak bisa dibayangkan,
betapa besarnya penderitaan yang harus ditanggung oleh orang yang semula
menjadi pejabat, namun kemudian dipenjara. Oleh karena itu,
kemuliaan yang paling hakiki adalah kemuliaan menurut ukuran Tuhan, yaitu
apa yang disebut dengan taqwa. Puasa di Bulan Ramadhan adalah
mengantarkan orang yang beriman untuk mendapatkan kemuliaan yang hakiki itu. Kemuliaan
yang hakiki inilah yang seharusnya diburu dan diperjuangkan. Wallahu
a’lam.
1 comment:
mantap,,
Post a Comment