Monday, January 26, 2015

SYUKUR DAN PENGERTIANNYA (Bagian I)

Posted By Abd. Ghafar Arif RM


Kata “syukur” adalah kata yang berasal dari bahasa Arab. Kata ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai: (1) rasa terima kasih kepada Allah, dan (2) untunglah (menyatakan lega, senang, dan sebagainya).
Pengertian kebahasaan ini tidak sepenuhnya sama dengan pengertiannya menurut asal kata itu (etimologi) maupun menurut penggunaan Al-Quran atau istilah keagamaan.
Dalam Al-Quran kata “syukur” dengan berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 64 kali. Ahmad Ibnu Faris dalam bukunya Maqayis Al-Lughah menyebutkan empat arti dasar dari kata tersebut yaitu:
a.       Pujian karena adanya kebaikan yang diperoleh.
Hakikatnya adalah merasa ridha atau puas dengan sedikit sekalipun, karena itu bahasa menggunakan kata ini (syukur) untuk kuda yang gemuk namun hanya membutuhkan sedikit rumput. Peribahasa juga memperkenalkan ungkapan Asykar min barwaqah (Lebih bersyukur dari tumbuhan barwaqah). Barwaqah adalah sejenis tumbuhan yang tumbuh subur, walau dengan awan mendung tanpa hujan.
b.  Kepenuhan dan kelebatan. Pohon yang tumbuh subur dilukiskan dengan kalimat syakarat asy-syajarat.
c.   Sesuatu yang tumbuh di tangkai pohon (parasit).
d.   Pernikahan, atau alat kelamin.
Agaknya kedua makna terakhir ini dapat dikembalikan dasar pengertiannya kepada kedua makna terdahulu. Makna ketiga sejalan dengan makna pertama yang mengambarkan kepuasan dengan yang sedikit sekalipun, sedang makna keempat dengan makna kedua, karena dengan pernikahan (alat kelamin) dapat melahirkan banyak anak.
Makna-makna dasar tersebut dapat juga diartikan sebagai penyebab dan dampaknya, sehingga kata “syukur” mengisyaratkan “Siapa yang merasa puas dengan yang sedikit, maka ia akan memperoleh banyak, lebat, dan subur.”
Ar-Raghib Al-Isfahani salah seorang yang dikenal sebagai pakar bahasa Al-Quran menulis dalam Al-Mufradat fi Gharib Al-Quran, bahwa kata “syukur” mengandung arti “gambaran dalam benak tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan.” Kata ini –tulis Ar-Raghib– menurut sementara ulama berasal dari kata “syakara” yang berarti “membuka”, sehingga ia merupakan lawan dari kata “kafara” (kufur) yang berarti menutup – (salah satu artinya adalah) melupakan nikmat dan menutup-nutupinya.
Makna yang dikemukakan pakar di atas dapat diperkuat dengan beberapa ayat Al-Quran yang memperhadapkan kata syukur dengan kata kufur, antara lain dalam QS lbrahim (14): 7
Jika kamu bersyukur pasti akan Kutambah (nikmat-Ku) untukmu, dan bila kamu kufur, maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih. (QS lbrahim (14): 7). Demikian juga dengan redaksi pengakuan Nabi Sulaiman yang diabadikan Al-Quran: Ini adalah sebagian anugerah Tuhan-Ku, untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau kufur (QS An-Naml [27]: 40).
Hakikat syukur adalah “menampakkan nikmat,” dan hakikat kekufuran adalah menyembunyikannya. Menampakkan nikmat antara lain berarti menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberinya, juga menyebut-nyebut nikmat dan pemberinya dengan lidah:
Adapun terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau menyebut-nyebut (QS Adh-Dhuha [93]: ll).
Nabi Muhammad saw pun bersabda: “Allah senang melihat bekas (bukti) nikmat-Nya dalam penampilan hamba-Nya (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi)”. Sementara ulama ketika menafsirkan firman Allah, “Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku”(QS Al-Baqarah [2]: 152) Menjelaskan bahwa ayat ini mengandung perintah untuk mengingat Tuhan tanpa melupakannya, patuh kepada-Nya tanpa menodainya dengan kedurhakaan. Syukur orang demikian lahir dari keikhlasan kepada-Nya, dan karena itu, ketika setan menyatakan bahwa, “Demi kemuliaan-Mu, Aku akan menyesatkan mereka (manusia) semuanya” (QS Shad [38]: 82), dilanjutkan dengan pernyataan pengecualian, yaitu, “kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlash di antara mereka” (QS Shad [38]: 83). Dalam QS Al-A’raf (7): 17 Iblis menyatakan, “Dan Engkau tidak akan menemukan kebanyakan dari mereka (manusia) bersyukur.” Kalimat “tidak akan menemukan” di sini serupa maknanya dengan pengecualian di atas, sehingga itu berarti bahwa orang-orang yang bersyukur adalah orang-orang yang mukhlish (tulus hatinya).
Dengan demikian syukur mencakup tiga sisi:
a. Syukur dengan hati, yaitu kepuasan batin atas anugerah.
b. Syukur dengan lidah, dengan mengakui anugerah dan memuji pemberinya.
c. Syukur dengan perbuatan, dengan memanfaatkan anugerah yang diperoleh sesuai dengan tujuan penganugerahannya.
Uraian Al-Quran tentang syukur mencakup sekian banyak aspek. Berikut akan dikemukakan sebagian di antaranya.

SIAPA YANG HARUS DISYUKURI
Pada prinsipnya segala bentuk kesyukuran harus ditujukan kepada Allah SWT Al-Quran memerintahkan umat Islam untuk bersyukur setelah menyebut beberapa nikmat-Nya,
Maka ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku (QS Al-Baqarah [2]: 152).
Dalam QS Luqman (31): 12 dinyatakan: “Dan sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepada Luqman hikmah, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk (manfaat) dirinya sendiri.”
Namun demikian, walaupun kesyukuran harus ditujukan kepada Allah, dan ucapan syukur yang diajarkan adalah “alhamdulillah” dalam arti “segala puji (hanya) tertuju kepada Allah,” namun ini bukan berarti bahwa kita dilarang bersyukur kepada mereka yang menjadi perantara kehadiran nikmat Allah. Al-Quran secara tegas memerintahkan agar mensyukuri Allah dan mensyukuri kedua orang tua (yang menjadi perantara kehadiran kita di pentas dunia ini.) Surat Luqman (31): 14 menjelaskan hal ini, yaitu dengan firman-Nya:
Bersyukurlah kepada-Ku, dan kepada dua orang ibu bapakmu; hanya kepada-Kulah kembalimu.
Walaupun Al-Quran hanya menyebut kedua orangtua –selain Allah– yang harus disyukuri, namun ini bukan berarti bahwa selain mereka tidak boleh disyukuri.
Siapa yang tidak mensyukuri manusia, maka dia tidak mensyukuri Allah (Begitu bunyi suatu riwayat yang disandarkan kepada Rasul SAW).
MANFAAT SYUKUR BUKAN UNTUK TUHAN
Al-Quran secara tegas menyatakan bahwa manfaat syukur kembali kepada orang yang bersyukur, sedang Allah SWT sama sekali tidak memperoleh bahkan tidak membutuhkan sedikit pun dari syukur makhluk-Nya.
Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barangsiapa yang kufur (tidak bersyukur), maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya (tidak membutuhkan sesuatu) lagi Mahamulia (QS An-Naml [27]: 40)
Karena itu pula, manusia yang meneladani Tuhan dalam sifat-sifat-Nya, dan mencapai peringkat terpuji, adalah yang memberi tanpa menanti syukur (balasan dari yang diberi) atau ucapan terima kasih.
Al-Quran melukiskan bagaimana satu keluarga (menurut riwayat adalah Ali bin Abi Thalib dan istrinya Fathimah putri Rasulullah saw) memberikan makanan yang mereka rencanakan menjadi makanan berbuka puasa mereka, kepada tiga orang yang membutuhkan dan ketika itu mereka menyatakan bahwa,
Sesungguhnya kami memberi makanan untukmu hanyalah mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan darimu, dan tidak pula pujian (ucapan terima kasih) (QS Al-Insan [76]: 9).
Walaupun manfaat syukur tidak sedikit pun tertuju kepada Allah, namun karena kemurahan-Nya, Dia menyatakan diri-Nya sebagai Syakirun ‘Alim (QS Al-Baqarah [2]: 158), dan Syakiran Alima (QS An-Nisa’ [4]: 147), yang keduanya berarti, Maha Bersyukur lagi Maha Mengetahui, dalam arti Allah akan menganugerahkan tambahan nikmat berlipat ganda kepada makhluk yang bersyukur. Syukur Allah ini antara lain dijelaskan oleh firman-Nya dalam surat Ibrahim (14): 7 yang dikutip di atas.
(Bersambung Ke ..... Bagian II)

No comments:

Artikel Terbaru