KEMAMPUAN MANUSIA BERSYUKUR
Pada hakikatnya manusia tidak mampu untuk mensyukuri Allah
secara sempurna, baik dalam bentuk kalimat-kalimat pujian apalagi dalam bentuk
perbuatan. Karena itu ditemukan dua ayat dalam Al-Quran yang menunjukkan betapa
orang-orang yang dekat kepada-Nya sekalipun, tetap bermohon agar dibimbing,
diilhami dan diberi kemampuan untuk dapat mensyukuri nikmat-Nya.
Dia berdoa, “Wahai Tuhanku, berilah aku ilham untuk
mensyukuri nikmat-Mu yang telah engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua
orang ibu bapakku, dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai…” (QS
An-Naml [27]: 19).
Ia berdoa, “Wahai Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri
nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu-bapakku, dan supaya
aku dapat berbuat amal saleh yang engkau ridhai” (QS Al-Ahqaf [46]: 15).
Nabi saw juga berdoa dan mengajarkan doa itu untuk
dipanjatkan oleh umatnya : “Wahai Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu,
bersyukur untuk-Mu, dan beribadah dengan baik bagi-Mu. ”Permohonan tersebut
sangat diperlukan, paling tidak disebabkan oleh dua hal:
Pertama, manusia
tidak mampu mengetahui bagaimana cara yang sebaik-baiknya untuk memuji Allah,
dan karena itu pula Allah mewahyukan kepada manusia pilihan-Nya kalimat yang
sewajarnya mereka ucapkan. Tidak kurang dari lima kali ditemukan dalam Al-Quran
perintah Allah yang berbunyi. Wa qul’ “Alhamdulillah” (Katakanlah,
“Alhamdulillah”).
Mengapa manusia tidak mampu untuk memuji-Nya? Ini disebabkan
karena pujian yang benar menuntut pengetahuan yang benar pula tentang siapa
yang dipuji. Tetapi karena pengetahuan manusia tidak mungkin menjangkau hakikat
Allah SWT, maka tidak mungkin pula ia akan mampu memuja dan me~nuji-Nya dengan
benar sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya.
Mahasuci Engkau, Kami tidak mampu melukiskan pujian
untuk-Mu, karena itu (pujian) kami sebagaimana pujian-Mu terhadap diri-Mu. Atas
dasar ini, maka seringkali pujian yang dipersembahkan kepada Allah, didahului
oleh kata “Subhana” atau yang seakar dengan kata itu. Perhatikanlah
firman-Nya dalam surat Asy-Syura ayat 5:
Para malaikat bertasbih sambil memuji Tuhan mereka. Atau
dalam surat Ar-Ra’d (13): 13: “Guntur bertasbih sambil memuji-Nya.”Bahkan
manusia pun di dalam shalat mendahulukan “tasbih” (pensucian Tuhan dari
segala kekurangan) atas “hamd” (pujian), karena khawatir jangan sampai
pujian yang diucapkan itu tak sesuai dengan keagungan-Nya. “Subhana Rabbiyal
‘Azhim wa bi hamdihi” ketika rukuk, dan “Subhana Rabbiyal ‘Ala wa bi
hamdihi” ketika sujud.
Alasan kedua mengapa kita memohon petunjuk-Nya untuk
bersyukur adalah karena setan selalu menggoda manusia yang targetnya antara
lain adalah mengalihkan mereka dari bersyukur kepada Allah. Surat Al-A’raf ayat
17 menguraikan sumpah setan di hadapan Allah untuk menggoda dan merayu manusia
dari arah depan, belakang, kiri, dan kanan mereka sehingga akhirnya seperti
ucap setan yang diabadikan Al-Quran “Engkau -(Wahai Allah)- tidak menemukan
kebanyakan mereka bersyukur”.
Sedikitnya makhluk Allah yang pandai bersyukur ditegaskan
berkali-kali oleh Al-Quran, secara langsung oleh Allah sendiri seperti
firman-Nya:
Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia,
tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur (QS Al-Baqarah [2]: 243).
Dalam ayat lain disebutkan:
“Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada
Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur (QS Saba’ [34]:
13) .
Hakikat yang sama diakui pula oleh hamba-hamba pilihan-Nya
seperti yang diabadikan Al-Quran dari ucapan Nabi Yusuf a.s.,
Kebanyakan manusia tidak bersyukur (QS Yusuf [12]: 38).
Hakikat di atas tercermin juga dari penggunaan kata syukur
sebagai sifat dari hamba Allah. Hanya dua orang dari mereka yang disebut oleh
Al-Quran sebagai hamba Allah yang telah membudaya dalam dirinya sifat syukur,
yaitu Nabi Nuh a.s. yang dinyatakan-Nya sebagai “Innahu kaana ‘abdan syakura”
(Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur) (QS Al-Isra’
[17]: 3), dan Nabi Ibrahim a.s. dengan firman-Nya, “Syakiran li an’umihi”
(yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah) (QS An-Nahl [16): 12l).
Al-Quran menggarisbawahi bahwa biasanya kebanyakan manusia
hanya berjanji untuk bersyukur saat mereka menghadapi kesulitan. Al-Quran
menjelaskan sikap sementara orang yang menghadapi gelombang yang dahsyat di
laut:.
Maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengihlaskan ketaatan
kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata), "Sesungguhnya jika Engkau
menyelamatkan kami dari bencana ini, maka pastilah kami akan termasuk
orang-orang yang bersyukur" (QS Yunus 110]: 22).
Demikian juga dalam surat Al-An’am (6): 63. “Katakanlah,
“Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut, yang
kamu berdoa kepada-Nya dengan berendah dri dengan suara yang lembut (dengan
mengatakan): Sesungguhnya, jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini,
tentulah kami menjadi bagian orang-orang yang bersyukur” (QS Al-An’am [6]: 63).
APA YANG HARUS DISYUKURI
Pada dasarnya segala nikmat yang diperoleh manusia harus
disyukurinya. Nikmat diartikan oleh sementara ulama sebagai “segala sesuatu
yang berlebih dari modal Anda”. Adakah manusia memiliki sesuatu sebagai modal?
Jawabannya, “Tidak”. Bukankah hidupnya sendiri adalah anugerah dari Allah?
Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa,
sedang ia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? (QS Al-Insan
[76]: ayat 1).
Nikmat Allah demikian berlimpah ruah, sehingga Al-Quran
menyatakan, Seandainya kamu (akan) menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak
akan sanggup menghitungnya (QS Ibrahim [14]: 34).
Al-Biqa’i dalam tafsirnya terhadap surat Al-Fatihah
mengemukakan bahwa “al-hamdulillah” dalam surat Al-Fatihah
menggambarkan segala anugerah Tuhan yang dapat dinikmati oleh makhluk,
khususnya manusia. Itulah sebabnya –tulisnya lebih jauh– empat surat lain yang
juga dimulai dengan al-hamdulillah masing-masing menggambarkan kelompok nikmat
Tuhan, sekaligus merupakan perincian dari kandungan nikmat yang dicakup oleh
kalimat al-hamdulillah dalam surat Al-Fatihah itu. Karena Al-Fatihah
adalah induk Al-Quran dan kandungan ayat-ayatnya dirinci oleh ayat-ayat lain.
Keempat surat yang dimaksud adalah:
1. Al-An’am (surat ke-6) yang dimulai dengan: “Segala puji
bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi, dan mengadakan gelap dan
terang”.
Ayat ini mengisyaratkan nikmat wujud di dunia ini dengan
segala potensi yang dianugerahkan Allah baik di darat, laut, maupun udara,
serta gelap dan terang.
2. Al-Kahf (surat ke-18), yang dimulai dengan: “Segala puji
bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (Al-Quran), dan
tidak membuat kebengkokan (kekurangan) di dalamnya”.
Di sini diisyaratkan nikmat-nikmat pemeliharaan Tuhan yang
dianugerahkannya secara aktual di dunia ini. Disebut pula nikmat-Nya yang
terbesar yaitu kehadiran Al-Quran di tengah-tengah umat manusia, untuk
“mewakili” nikmat-nikmat pemeliharaan lainnya.
3. Saba’ (surat ke-34), yang dimulai dengan” “Segala puji
bagi Allah yang memiliki apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan
bagi-Nya pula segala puji di akhirat. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha
Mengetahui”.
Ayat ini mengisyaratkan nikmat Tuhan di akhirat kelak, yakni
kehidupan baru setelah mengalami kematian di dunia, di mana dengan kehadirannya
di sana manusia dapat memperoleh kenikmatan abadi.
4. Fathir (surat ke-35), yang dimulai dengan: “Segala puji
bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai
utusan-utusan untuk mengurus berbagai macam urusan (di dunia dan di akhirat),
yang mempunyai sayap masing-masing (ada yang) dua, tiga, dan empat”.
Ayat ini adalah isyarat tentang nikmat-nikmat abadi yang
akan dianugerahkan Allah kelak setelah mengalami hidup baru di akhirat.
Setiap rincian yang terdapat dalam keempat kelompok nikmat
yang dicakup oleh keempat surat di atas, menuntut syukur hamba-Nya baik dalam
bentuk ucapan al-hamdulillah, maupun pengakuan secara tulus dari lubuk hati,
serta mengamalkan perbuatan yang diridhai-Nya.
Di atas dikemukakan secara global nikmat-nikmat-Nya yang
mengharuskan adanya syukur. Dalam beberapa ayat lainnya disebut sekian banyak
nikmat secara eksplisit, antara lain:
1. Kehidupan dan kematian
Bagaimana kamu mengkufuri (tidak mensyukuri nikmat) Allah,
padahal tadinya kamu tiada, lalu kamu dihidupkan, kemudian kamu dimatikan, lalu
dihidupkan kembali. (QS Al-Baqarah [2]: 28).
2. Hidayat Allah
Hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur (QS Al-Baqarah [2]: 185).
3. Pengampunan-Nya, antara lain dalam firman-Nya.
Kemudian setelah itu Kami maafkan kesalahanmu agar kamu
bersyukur (QS Al-Baqarah [2]: 52)
4. Pancaindera dan akal
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan
hati, supaya kamu bersyukur (QS An-Nahl [16]: 78).
5. Rezeki
Dan diberinya kamu rezeki yang baik-baik agar kamu bersyukur
(QS Al-Anfal [8]: 26).
6. Sarana dan prasarana antara lain
Dan Dialah (Allah) yang menundukkan lautan (untukmu) agar
kamu dapat memakan daging (ikan) yang segar darinya, dan kamu mengeluarkan dan
lautan itu perhiasan yang kamu pakai, dan kamu melihat bahtera berlayar
padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dan karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur
(QS An-Nahl [16]: 14).
7. Kemerdekaan
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Hai
kaumku, ingatlah nikmat Allah atas kamu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di
antaramu, dan dijadikannya kamu orang-orang yang merdeka (bebas dari penindasan
Fir’aun) (QS Al-Maidah [5]: 20)
Masih banyak lagi nikmat-nikmat lain yang secara eksplisit
disebut oleh Al-Quran. Dalam surat Ar-Rahman (surat ke-55), Al-Quran
membicarakan aneka nikmat Allah dalam kehidupan dunia ini dan kehidupan akhirat
kelak. Hampir pada setiap dua nikmat yang disebutkan. Quran mengulangi satu
pertanyaan dengan redaksi yang sama yaitu,
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu ingkari? Pertanyaan
tersebut terulang sebanyak tiga puluh satu kali. Para ulama menyusun semacam
“rumus”, yaitu siapa yang mampu mensyukuri nikmat-nikmat Allah, maka ia akan
selamat dari ketujuh pintu neraka, sekaligus dia dapat memilih pintu-pintu mana
saja dari kedelapan pintu surga, baik surga pertama maupun surga kedua, baik
Surga (kenikmatan duniawi) maupun kenikmatan ukhrawi.
WAKTU DAN TEMPAT BERSYUKUR
Segala puji bagi Allah yang memelihara apa yang ada di
langit dan apa yang ada di bumi, dan bagi-Nya (pula) segala puji di akhirat.
Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui (QS Saba’ [34]: l).
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah SWT harus disyukuri, baik
dalam kehidupan dunia sekarang maupun di akhirat kelak. Salah satu ucapan
syukur di akhirat adalah dari mereka yang masuk surga yang berkata,
Al-hamdulillah –segala puji bagi Allah– yang memberi
petunjuk bagi kami (masuk ke surga ini). Kami tidak memperoleh petunjuk ini,
seandainya Allah tidak memberikan kami petunjuk (QS Al-A’raf [7]: 43).
Demikian terlihat bahwa syukur dilakukan kapan dan di mana
saja di dunia dan di akhirat.
Dalam konteks syukur dalam kehidupan dunia ini, Al-Quran
menegaskan bahwa Allah SWT menjadikan malam silih berganti dengan siang, agar
manusia dapat menggunakan waktu tersebut untuk merenung dan bersyukur, “Dia
yang menjadikan malam dan siang silih berganti, bagi orang yang ingin mengambil
pelajaran atau orang yang ingin bersyukur (QS Al-Furqan [25]: 62).
Dalam surat Ar-Rum (30): 17-18 Allah memerintahkan, Maka
bertasbihlah kepada Allah di waktu kamu berada di petang hari, dan waktu kamu
berada di waktu subuh, dan bagi-Nyalah segala puji di langit dan di bumi dan di
waktu kamu berada pada petang hari dan ketika kamu berada di waktu zuhur.
Segala aktivitas manusia –siang dan malam– hendaknya
merupakan manifestasi dari syukurnya. Syukur dengan lidah dituntut saat seseorang
merasakan adanya nikmat Ilahi. Itu sebabnya Nabi SAW tidak jemu-jemunya
mengucapkan, “Alhamdulillah” pada setiap situasi dan kondisi.
Saat bangun tidur beliau mengucapkan : “Segala puji bagi
Allah yang telah menghidupkan (membangunkan) kami, setelah mematikan
(menidurkan) kami dan kepada-Nya-lah (kelak) kebangkitan”.
Atau membaca : “Segala puji bagi Allah yang mengembalikan
kepadaku ruhku, memberi afiat kepada badanku, dan mengizinkan aku
mengingat-Nya.
Ketika bangun untuk ber-tahajjud beliau membaca: “Wahai
Allah, bagimu segala pujian. Engkau adalah pengatur langit dan bumi dan segala
isinya. Bagimu segala puji, Engkau adalah pemilik kerajaan langit dan bumi dan
segala isinya …”.
Ketika berpakaian beliau membaca: “Segala puji bagi Allah
yang menyandangiku dengan (pakaian) ini, menganugerahkannya kepadaku tanpa
kemampuan dan kekuatan (dari diriku)”.
Sesudah makan beliau mengucapkan: “Segala puji bagi Allah
yang memberi kami makan dan memberi kami minum dan menjadikan kami (kaum)
Muslim”.
Ketika akan tidur, beliau berdoa: “Dengan namamu Ya Allah
aku hidup dan mati. Wahai Allah, bagi-Mu segala puji, Engkau Pemelihara langit
dan bumi”.
Demikian seterusnya pada setiap saat, dalam berbagai situasi
dan kondisi.
Apabila seseorang sering mengucapkan al-hamdulillah,
maka dari saat ke saat ia akan selalu merasa berada dalam curahan rahmat dan
kasih sayang Tuhan. Dia akan merasa bahwa Tuhan tidak membiarkannya sendiri.
Jika kesadaran ini telah berbekas dalam jiwanya, maka seandainya pada suatu,
saat ia mendapat cobaan atau merasakan kepahitan, dia pun akan mengucapkan :
“Segala puji bagi Allah, tiada yang dipuja dan dipuji walau cobaan menimpa,
kecuali Dia semata”.
Kalimat semacam ini terlontar, karena ketika itu dia sadar
bahwa seandainya apa yang dirasakan itu benar-benar mempakan malapetaka, namun
limpahan karunia-Nya sudah sedemikian banyak, sehingga cobaan dan malapetaka
itu tidak lagi berarti dibandingkan dengan besar dan banyaknya karunia selama
ini.
Di samping itu akan terlintas pula dalam pikirannya, bahwa pasti ada hikmah di belakang cobaan itu, karena Semua perbuatan Tuhan senantiasa mulia lagi terpuji.
Di samping itu akan terlintas pula dalam pikirannya, bahwa pasti ada hikmah di belakang cobaan itu, karena Semua perbuatan Tuhan senantiasa mulia lagi terpuji.
SIAPA YANG DISYUKURI ALLAH
Al-Quran juga berbicara menyangkut siapa dan bagaimana upaya
yang harus dilakukan sehingga wajar disyukuri. Dua kali kata masykur dalam arti
yang disyukuri terulang dalam Al-Quran.
Pertama adalah, Barangsiapa
menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia
ini apa yang Kami kehendaki bagi orang-orang yang Kami kehendaki, dan Kami
tentukan baginya neraka Jahannam, ia akan memasukinya dalam keadaaan tercela
dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke
arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah Mukmin, maka mereka itu adalah
orang-orang yang usahanya disyukuri (dibalas dengan baik). Kepada masing-masing
golongan baik yang ini (menghendaki dunia saja) maupun yanp itu (yang
menghendaki akhirat melalui usaha duniawi), Kami berikan bantuan dari kemewahan
Kami. Dari kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi (QS Al-Isra’ [17]: 18-20).
Kedua adalah: Sesungguhnya
ini adalah balasan untukmu, dan usahamu adalah disyukuri (QS Al-Insan [76]:
22).
Isyarat “ini” dalam ayat di atas adalah berbagai kenikmatan
surgawi yang dijelaskan oleh ayat-ayat sebelumnya, dari ayat 12 sampai dengan
ayat 22 surat 76 (Al-Insan).
Surat Al-Isra’ ayat 17-20 berbicara tentang dua macam usaha
yang lahir dari dua macam visi manusia. Ada yang visinya terbatas pada
“kehidupan sekarang”, yakni selama hidup di dunia ini, tidak memandang jauh ke
depan. “Kehidupan sekarang” diartikan detik dan jam atau hari dekat hidupnya,
boleh jadi juga “sekarang” berarti masa hidupnya di dunia yang mengantarkannya
bervisi hanya puluhan tahun. Ayat di atas menjanjikan bahwa jika mereka
berusaha akan memperoleh sukses sesuai dengan usahanya; itu pun bila
dikehendaki Allah. Tetapi setelah itu mereka akan merasa jenuh dan mandek,
karena keterbatasan visi tidak lagi mendorongnya untuk berkreasi. Nah, ketika
itulah lahir rutinitas yang pada akhirnya melahirkan kehancuran.
Hakikat ini bisa terjadi pada tingkat perorangan atau
masyarakat. Kejenuhan dengan segala dampak negatif yang dialami oleh anggota
masyarakat bahkan masyarakat secara umum di dunia yang menganut paham
sekularisme –setelah mereka mencapai sukses duniawi– merupakan bukti nyata dari
kebenaran hakikat yang diungkapkan Al-Quran di atas. Tetapi jika pandangan kita
jauh ke depan, visi seseorang atau masyarakat melampaui kehidupan dunianya,
maka ia tidak pernah akan berhenti-bagai seseorang yang menggantungkan
cita-citanya melampaui ketinggian bintang. Ketika itu dia akan terus berusaha
dan berkreasi, sehingga tidak pernah merasakan kejenuhan, karena di balik satu
sukses masih dapat diraih sukses berikutnya. Memang Allah menjajikan untuk
terus-menerus dan sementara menambah petunjuk-Nya bagi mereka yang telah
mendapat petunjuk.
Dan Allah sementara menambah petunjuk-Nya bagi orang-orang
yang mendapat petunjuk (QS Maryam [19]: 76).
Orang yang demikian itulah yang semua usahanya disyukuri
Allah. Mereka yang disyukuri itu akan memperoleh surga sebagaimana dilukiskan
oleh kata masykur pada ayat kedua yang menggunakan kata ini, yakni surat
Al-Insan ayat 22.
Demikian sekelumit uraian Al-Quran tentang syukur. Kalaulah
kita tidak mampu untuk masuk dalam kelompok minoritas –orang-orang yang pandai
bersyukur (atau dalam istilah Al-Quran asy-syakirun, yakni orang-orang yang
telah mendarah daging dalam dirinya hakikat syukur dalam ketiga sisinya: hati,
lidah, dan perbuatan)– maka paling tidak kita tetap harus berusaha sekuat
kemampuan untuk menjadi orang yang melakukan syukur –atau dalam istilah
Al-Quran yasykurun– betapapun kecilnya syukur itu. Karena seperti bunyi sebuah
kaidah keagamaan,
Sesuatu yang tidak dapat diraih seluruhnya, jangan
ditinggalkan sama sekali.
Referensi
Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., Wawasan Al-Quran, Tafsir
Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Penerbit Mizan, Bandung, 1997.
Dr. Syauqi Abu Khalil, Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur’an secara Akurat disertai Peta dan Foto, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy, MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr. Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja, MA.
Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, Atlas Sejarah Para Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para Utusan Allah, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs. A. Faruq Nasution), Al-Quran Terjemah Indonesia, Penerbit PT. Sari Agung, Jakarta, 2004
Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Quran, Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata, Syaamil International, 2007.
alquran.bahagia.us, al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, Al-Quran web, PT. Gilland Ganesha, 2008.
Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Mutiara Hadist Shahih Bukhari Muslim, PT. Bina Ilmu, 1979.
Al-Hafizh Zaki Al-Din ‘Abd Al-’Azhum Al Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka, Bandung, 2008.
M. Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 2008.
Al-Bayan, Shahih Bukhari Muslim, Jabal, Bandung, 2008.
Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 1999.
Dr. Syauqi Abu Khalil, Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur’an secara Akurat disertai Peta dan Foto, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy, MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr. Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja, MA.
Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, Atlas Sejarah Para Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para Utusan Allah, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs. A. Faruq Nasution), Al-Quran Terjemah Indonesia, Penerbit PT. Sari Agung, Jakarta, 2004
Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Quran, Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata, Syaamil International, 2007.
alquran.bahagia.us, al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, Al-Quran web, PT. Gilland Ganesha, 2008.
Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Mutiara Hadist Shahih Bukhari Muslim, PT. Bina Ilmu, 1979.
Al-Hafizh Zaki Al-Din ‘Abd Al-’Azhum Al Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka, Bandung, 2008.
M. Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 2008.
Al-Bayan, Shahih Bukhari Muslim, Jabal, Bandung, 2008.
Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 1999.
No comments:
Post a Comment